Dampak pertama dari usaha pertambangan tembaga-emas
Grasberg, Papua yang diusahakan oleh PT. Freeport
Indonesia adalah jumlah ampas (tailing) yang mencapai 66.000 metrik
ton/hari. Dengan akan ditingkatkannya
produksi menjadi 300 ribu metrik ton/hari, maka ampas (tailing) yang
dihasilkan akan menjadi 4 kali lebih besar (Sudradjat, 1999). Dampak
lingkungan yang sangat unik dari pertambangan ini adalah dugaan
menciutnya glasier atau es abadi satu-satunya yang terdapat di daerah
tropis akibat adanya kegiatan pertambangan tersebut.
Dampak
lainnya yang juga unik dari pertambangan tersebut
adalah masalah sosial budaya. Dapat dibayangkan bahwa kegiatan
pertambangan yang menggunakan teknologi super dan serba modern tersebut
langsung dihadapkan dengann masyarakat yang berada pada tahap pre-mo.
Dalam
hal penambangan emas, usaha yang selama ini beroperasi di Indonesia
(Saruan, 2001) pada umumnya terdiri:
1. Pertambangan Skala Besar
Terdiri
dari Kontrak Karya (KK) dan Kuasa Pertambangan (KP).
Kontrak Karya
(KK) adalah persetujuan kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta
asing atau joint venture Indonesia untuk mengusahakan pertam-bangan
non-migas.
Sedangkan Kuasa Pertambangan (KP) adalah suatu
pedrtambangan yang diberikan kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah
dcan badan lain atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan.
2.
Pertambangan Rakyat (Skala Kecil)
Terdiri dari Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK).
Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR) adalah suatu wilayah pertambangan yang dikelola oleh
rakyat secara tradisional dan semi mekanis. Bentuk perizinannya adalah
Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD). Sedangkan Pertambangan
Skala Kecil (PSK) adalah suatu wilayah pertambangan yang dikelola oleh
rakyat (tergabung dalam suatu koperasi) secara semi mekanik dan mekanik.
3.
Pertambangan Tanpa Izin; yaitu pertambangan yang dilakukan oleh rakyat
secara illegal yang dilakukan bukan pada lokasi resmi yang telah
ditentukan oleh pemerintah.
Kegiatan penambangan emas tanpa izin
(PETI) menimbulkan pembukaan dan penghancuran bahu-bahu sungai sampai
sejauh 50 sampai 200 m di kedua sisinya (Sudewo, 2001). Akibat kegiatan
ini terjadi proses pengendapan lumpur secara besar-besaran pada sungai
sehingga menyebabkan peningkatan beban sedimen dan penyempitan pada
aliran sungai.
Selain itu, penggunaan larutan merkuri secara
berlebihan menyebabkan terkontaminasinya air sungai di sekitarnya yang
merupakan sumber air minum masyarakat. Sebagian merkuri terbuang ke
sistem sungai/aliran sungai dan terbawa oleh air atau mengendap di dalam
sedimen sungai dalam bentuk anorganik atau mengendap sebagai sedimen
sungai. Merkuri anorganik dapat berubah bentuk dengan proses
mikro-organisme. Bentuk anorganik tersebut sangat beracun sebagaimana
dapat/siap larut dan mampu berakumulasi secara biologi di dalam jaring
rantai makanan (Sudewo, 2001).
Sifat senyawa merkuri tidak dapat
terurai dan terakumulasi di lingkungan dalam jangka waktu yang lama.
Merkuri melalu reaksi kimia dapat berubah dalam bentuk yang sangat
beracun, yaitu metil merkuri yang dapat larut dengan mudah dan diserap
oleh biota air (plankton, benthos dan ikan). Metil merkuri sangat lambat
lepas dari tubuh sehingga terakumulasi pada biota air. Sekitar 80%
jumlah merkuri ditemukan pada ikan adalah dalam bentuk yang sangat
beracun (metil merkuri).
Melalui proses jaring rantai makanan (food
chain), merkuri akan terakumulasi dari biota air yang kecil sampai
dengan ikan yang lebih besar yang tertangkap dan dimakan oleh penduduk.
Ikan tersebut mengandung merkuri yang tnggi (walaupun kadar merkuri di
dalam air tidak begitu tinggi. Hal tersebut berpotensi mempengaruhi
kesehatan masyarakat yang hidup di tepi sungai, umumnya dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Gejala psikologi merkuri dan logam berat pada
manusia seperti sakit kepala, fungsi otak, fungsi otot, fungsi ginjal
dan kelainan lahir dan kematian. Pengaslaman yang telah dialami oleh
masyarakat Minamata di Jepang menjadi kesaksian dari dampak yang
mematikan dan berjangka waktu panjang dari kontaminasi merkuri terhadap
lingungan.
Berdasarkan hasil survey terhadap para penambang
(Inkiriwang, 2001), didapatkan bahwa dari jumlah merkuri yang
dipergunakan mereka, 20% terbuang ke perairan dan hilang dalam proses
pembakaran (menguap). Merkuri yang hilang dalam proses pembakaran dapat
dihirup oleh penambang sedangkan yang lainnya akan lepas ke udara dan
melalui proses presipitasi akan kembali ke bumi sebagai hujan yang
mengandung merkuri. Sedangkan merkuri yang terbuang ke perairan dalam
bentuk bebas atau anorganik, bentuk ini dapat berubah menjadi merkuri
organik melalui proses metilisasi bakteri yang bersifat lebih toksik.
Perubahan
lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan tanpa izin di Cagar Alam
Panua terhadap sistem sungai (Sudewo, 2001) adalah:
· Sedimentasi di
dalam sistem sungai dengan nilai partikel-partikel yang terlarut dan
tingkat kekeruhan di sungai melebihi nilai ambang batas. Sedimentasi
yang dihasilkan dari proses erosi yang luas akibat terjadi kegiatan
penambangan,
· Nilai kandungan merkuri di daerah Cagar Alam Panua
sudah di atas ambang batas,
· Sungai-sungai di daerah Cagar Alam
Panua mengalami degradasi lingkungan,
· Akibat adanya kegiatan
penambangan, luas hutan yang terbuka di daerah Cagar Alam Panua sekitar
173,1567 ha.
Beroperasinya pertambangan tanpa ijin (PETI) dapat
menyebabkan beberapa hal (Inkiriwang, 2001), di antaranya adalah:
·
Hilangnya penerimaan daerah,
· Kerusakan lingkungan hidup,
· Iklim
investasi menjadi semakin tidak kondusif,
· Terjadinya pemborosan
sumberdaya mineral,
· Terjadinya pelecehan hukum, serta
·
Mengakibatkan kerawanan sosial.
Sebagaimana difahami bahwa
teknologi kegiatan penambangan yang ada dan tersedia sampai dengan saat
ini adalah melalui pembongkaran tanah dimana lokasi deposit tambang
tersebut berada. Pembongkaran tanah pada lokasi tersebut dengan
sendirinya akan berakibat pada keberadaan vegetasi yang ada, struktur
dan tekstur tanah berubah, pola aliran tata air kawasan terganggu, yang
pada gilirannya kondisi habitat secara keseluruhan menjadi berubah dan
terganggu.
Habitat adalah merupakan tempat dari berbagai organisme
hidup, termasuk di dalamnya adalah satwa untuk makan dan minum,
berlindung serta berkembang biak. Komponen-komponen biotik dan abiotik
kawasan menjadi terganggu, pola kehidupan dan rantai makanan ekosistem
menjadi rusak, yang pada gilirannya tujuan idealis ditetapkannya suatu
kawasan lindung yaitu untuk menyelamatkan dan mempertahankan
keberlangsungan suatu proses yang ada di suatu kawasan tertentu secara
alami (tanpa adanya campur tangan manusia) menjadi tidak tercapai.
Pewarisan kekayaan plasma nutfah (gene-resources) yang dikandung dalam
suatu kawasan lindung guna dapat diwariskan pada generasi berikutnya,
serta pewarisan ilmu pengetahuan agar generasi berikut nantinya dapat
belajar dari proses-proses alami yang terus-menerus berlangsung di
kawasan tersebut menjadi gagal.
http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/putut_marhayudi.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar