SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Kamis, 29 November 2012

Damapak biologi pertambangan emas Papua

Dampak pertama dari usaha pertambangan tembaga-emas Grasberg, Papua yang diusahakan oleh PT. Freeport Indonesia adalah jumlah ampas (tailing) yang mencapai 66.000 metrik ton/hari. Dengan akan ditingkatkannya produksi menjadi 300 ribu metrik ton/hari, maka ampas (tailing) yang dihasilkan akan menjadi 4 kali lebih besar (Sudradjat, 1999). Dampak lingkungan yang sangat unik dari pertambangan ini adalah dugaan menciutnya glasier atau es abadi satu-satunya yang terdapat di daerah tropis akibat adanya kegiatan pertambangan tersebut.

Dampak lainnya yang juga unik dari pertambangan tersebut adalah masalah sosial budaya. Dapat dibayangkan bahwa kegiatan pertambangan yang menggunakan teknologi super dan serba modern tersebut langsung dihadapkan dengann masyarakat yang berada pada tahap pre-mo.

Dalam hal penambangan emas, usaha yang selama ini beroperasi di Indonesia (Saruan, 2001) pada umumnya terdiri:

1. Pertambangan Skala Besar

Terdiri dari Kontrak Karya (KK) dan Kuasa Pertambangan (KP).
Kontrak Karya (KK) adalah persetujuan kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta asing atau joint venture Indonesia untuk mengusahakan pertam-bangan non-migas.
Sedangkan Kuasa Pertambangan (KP) adalah suatu pedrtambangan yang diberikan kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dcan badan lain atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan.
2. Pertambangan Rakyat (Skala Kecil)
Terdiri dari Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK).
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah suatu wilayah pertambangan yang dikelola oleh rakyat secara tradisional dan semi mekanis. Bentuk perizinannya adalah Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD). Sedangkan Pertambangan Skala Kecil (PSK) adalah suatu wilayah pertambangan yang dikelola oleh rakyat (tergabung dalam suatu koperasi) secara semi mekanik dan mekanik.
3. Pertambangan Tanpa Izin; yaitu pertambangan yang dilakukan oleh rakyat secara illegal yang dilakukan bukan pada lokasi resmi yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) menimbulkan pembukaan dan penghancuran bahu-bahu sungai sampai sejauh 50 sampai 200 m di kedua sisinya (Sudewo, 2001). Akibat kegiatan ini terjadi proses pengendapan lumpur secara besar-besaran pada sungai sehingga menyebabkan peningkatan beban sedimen dan penyempitan pada aliran sungai.
Selain itu, penggunaan larutan merkuri secara berlebihan menyebabkan terkontaminasinya air sungai di sekitarnya yang merupakan sumber air minum masyarakat. Sebagian merkuri terbuang ke sistem sungai/aliran sungai dan terbawa oleh air atau mengendap di dalam sedimen sungai dalam bentuk anorganik atau mengendap sebagai sedimen sungai. Merkuri anorganik dapat berubah bentuk dengan proses mikro-organisme. Bentuk anorganik tersebut sangat beracun sebagaimana dapat/siap larut dan mampu berakumulasi secara biologi di dalam jaring rantai makanan (Sudewo, 2001).
Sifat senyawa merkuri tidak dapat terurai dan terakumulasi di lingkungan dalam jangka waktu yang lama. Merkuri melalu reaksi kimia dapat berubah dalam bentuk yang sangat beracun, yaitu metil merkuri yang dapat larut dengan mudah dan diserap oleh biota air (plankton, benthos dan ikan). Metil merkuri sangat lambat lepas dari tubuh sehingga terakumulasi pada biota air. Sekitar 80% jumlah merkuri ditemukan pada ikan adalah dalam bentuk yang sangat beracun (metil merkuri).
Melalui proses jaring rantai makanan (food chain), merkuri akan terakumulasi dari biota air yang kecil sampai dengan ikan yang lebih besar yang tertangkap dan dimakan oleh penduduk. Ikan tersebut mengandung merkuri yang tnggi (walaupun kadar merkuri di dalam air tidak begitu tinggi. Hal tersebut berpotensi mempengaruhi kesehatan masyarakat yang hidup di tepi sungai, umumnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Gejala psikologi merkuri dan logam berat pada manusia seperti sakit kepala, fungsi otak, fungsi otot, fungsi ginjal dan kelainan lahir dan kematian. Pengaslaman yang telah dialami oleh masyarakat Minamata di Jepang menjadi kesaksian dari dampak yang mematikan dan berjangka waktu panjang dari kontaminasi merkuri terhadap lingungan.
Berdasarkan hasil survey terhadap para penambang (Inkiriwang, 2001), didapatkan bahwa dari jumlah merkuri yang dipergunakan mereka, 20% terbuang ke perairan dan hilang dalam proses pembakaran (menguap). Merkuri yang hilang dalam proses pembakaran dapat dihirup oleh penambang sedangkan yang lainnya akan lepas ke udara dan melalui proses presipitasi akan kembali ke bumi sebagai hujan yang mengandung merkuri. Sedangkan merkuri yang terbuang ke perairan dalam bentuk bebas atau anorganik, bentuk ini dapat berubah menjadi merkuri organik melalui proses metilisasi bakteri yang bersifat lebih toksik.
Perubahan lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan tanpa izin di Cagar Alam Panua terhadap sistem sungai (Sudewo, 2001) adalah:
· Sedimentasi di dalam sistem sungai dengan nilai partikel-partikel yang terlarut dan tingkat kekeruhan di sungai melebihi nilai ambang batas. Sedimentasi yang dihasilkan dari proses erosi yang luas akibat terjadi kegiatan penambangan,
· Nilai kandungan merkuri di daerah Cagar Alam Panua sudah di atas ambang batas,
· Sungai-sungai di daerah Cagar Alam Panua mengalami degradasi lingkungan,
· Akibat adanya kegiatan penambangan, luas hutan yang terbuka di daerah Cagar Alam Panua sekitar 173,1567 ha.
Beroperasinya pertambangan tanpa ijin (PETI) dapat menyebabkan beberapa hal (Inkiriwang, 2001), di antaranya adalah:
· Hilangnya penerimaan daerah,
· Kerusakan lingkungan hidup,
· Iklim investasi menjadi semakin tidak kondusif,
· Terjadinya pemborosan sumberdaya mineral,
· Terjadinya pelecehan hukum, serta
· Mengakibatkan kerawanan sosial.

Sebagaimana difahami bahwa teknologi kegiatan penambangan yang ada dan tersedia sampai dengan saat ini adalah melalui pembongkaran tanah dimana lokasi deposit tambang tersebut berada. Pembongkaran tanah pada lokasi tersebut dengan sendirinya akan berakibat pada keberadaan vegetasi yang ada, struktur dan tekstur tanah berubah, pola aliran tata air kawasan terganggu, yang pada gilirannya kondisi habitat secara keseluruhan menjadi berubah dan terganggu.
Habitat adalah merupakan tempat dari berbagai organisme hidup, termasuk di dalamnya adalah satwa untuk makan dan minum, berlindung serta berkembang biak. Komponen-komponen biotik dan abiotik kawasan menjadi terganggu, pola kehidupan dan rantai makanan ekosistem menjadi rusak, yang pada gilirannya tujuan idealis ditetapkannya suatu kawasan lindung yaitu untuk menyelamatkan dan mempertahankan keberlangsungan suatu proses yang ada di suatu kawasan tertentu secara alami (tanpa adanya campur tangan manusia) menjadi tidak tercapai. Pewarisan kekayaan plasma nutfah (gene-resources) yang dikandung dalam suatu kawasan lindung guna dapat diwariskan pada generasi berikutnya, serta pewarisan ilmu pengetahuan agar generasi berikut nantinya dapat belajar dari proses-proses alami yang terus-menerus berlangsung di kawasan tersebut menjadi gagal.




http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/putut_marhayudi.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar